Demo DPR Bulan Agustus: Ketika Jalanan Lebih Nyaring dari Gedung
4 mins read

Demo DPR Bulan Agustus: Ketika Jalanan Lebih Nyaring dari Gedung

Agustus 2025 mestinya menjadi bulan selebrasi. Bulan di mana kita mengenang kembali janji kemerdekaan: membangun negara yang berdaulat, adil, dan menyejahterakan rakyat. Tapi alih-alih pesta rakyat, jalanan Jakarta dipenuhi amarah. Suara teriakan massa buruh, mahasiswa, dan warga yang muak dengan parlemen, jauh lebih keras ketimbang pidato kenegaraan di ruang sidang megah DPR.

Amarah yang Meledak

Demonstrasi di depan DPR yang pecah pada akhir Agustus itu bukan sekadar ekspresi sesaat. Ia adalah akumulasi kekecewaan yang menumpuk bertahun-tahun. DPR yang seharusnya menjadi representasi rakyat, justru lebih sering tampil sebagai simbol privilese. Ketika rakyat berjuang dengan harga pangan, pendidikan, dan kesehatan, sebagian legislator sibuk berjoget di ruang sidang, pamer mobil mewah, atau melontarkan kata-kata kasar kepada pengkritiknya.

Kenaikan tunjangan rumah Rp50 juta per bulan menjadi pemicu paling nyata. Publik menganggap keputusan itu tidak peka dengan kondisi ekonomi masyarakat. Sementara sebagian anggota DPR justru berusaha membela diri dengan retorika yang menyinggung: ada yang menyebut masyarakat “tertlol sedunia” karena menuntut pembubaran DPR. Pernyataan semacam itu bukan hanya menyulut kemarahan, tapi juga mengukuhkan jarak antara rakyat dengan wakilnya.

Dari Joget hingga Parodi

Bukan sekali dua kali DPR mempertontonkan perilaku yang dianggap jauh dari etika publik. Dalam sidang paripurna, sejumlah anggota kedapatan berjoget mengikuti musik yang dibawakan korps musik. Video itu cepat viral, memantik kritik tajam. Namun alih-alih mawas diri, salah satu anggota malah mengunggah parodi TikTok yang memperlihatkan dirinya sebagai DJ. Seolah kritik rakyat hanya bahan lelucon.

Publik menilai gaya itu tak lebih dari bentuk perayaan privilese. Sebuah pesan implisit yang sampai ke telinga rakyat: wakil mereka tak peduli, dan justru merasa di atas. Maka tak heran, aksi jalanan di bulan Agustus itu menjelma menjadi panggung alternatif—tempat rakyat melawan dengan teriakan dan batu, setelah suaranya tak lagi terdengar di ruang sidang.

Ricuh dan Tragedi

Demo itu berakhir ricuh. Sebuah kendaraan taktis Brimob melindas pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, hingga tewas. Insiden ini langsung memicu gelombang protes lebih besar. Istana dan kepolisian buru-buru meminta maaf, tujuh anggota polisi diperiksa. Tapi luka di hati publik sulit sembuh hanya dengan pernyataan maaf.

Beberapa jam setelah insiden, media sosial dipenuhi tagar #DPRBobrok dan #ReformasiDikorupsiJilid2. Rakyat menuntut transparansi, menuntut tanggung jawab, bahkan ada yang kembali menyerukan pembubaran DPR. Tragedi itu memperlihatkan betapa renggangnya jarak antara penguasa dan rakyat—sebuah jurang yang kian melebar.

Rumah-Rumah yang Jadi Sasaran

Tak berhenti di jalanan, amarah rakyat merambah ke pemukiman elit. Rumah Ahmad Sahroni di Tanjung Priok dijarah. Mobil sportnya hancur, perabotan rumah porak-poranda. Rumah Eko Patrio dan Uya Kuya disatroni massa, begitu pula kediaman Nafa Urbach.

Puncaknya, rumah Menteri Keuangan Sri Mulyani di Bintaro juga jadi sasaran. Padahal, alasan penyerangan berasal dari video hoaks yang memelintir pidatonya seolah-olah menyebut guru sebagai “beban negara”. Kementerian Keuangan sudah membantah, menyebutnya hasil deepfake. Tapi publik telanjur terbakar.

Peristiwa ini menyajikan ironi pahit: kemarahan rakyat tak lagi bisa dibedakan antara fakta dan hoaks. Begitu besar ketidakpercayaan, sehingga kebenaran pun tak mampu meredam amarah.

Krisis Kepercayaan yang Menahun

Yang terjadi di bulan Agustus sejatinya adalah krisis kepercayaan yang sudah terlalu lama diabaikan. Lembaga legislatif kini menghadapi tantangan eksistensial: legitimasi. Apa artinya kursi empuk dan ruang sidang megah bila rakyat memandangnya sebagai simbol pengkhianatan?

DPR seolah lupa, kekuasaan yang mereka nikmati bersumber dari suara rakyat. Ketika suara itu diabaikan, rakyat mencari jalannya sendiri: turun ke jalan, berteriak, bahkan merusak. Memang, kekerasan tak bisa dibenarkan. Tapi mengabaikan pesan yang terkandung di baliknya akan jauh lebih berbahaya.

Menatap ke Depan

Kini bola ada di tangan DPR dan pemerintah. Apakah mereka akan menjadikan demo Agustus sebagai alarm untuk berbenah? Ataukah menganggapnya sekadar gangguan yang bisa dibereskan dengan barisan aparat dan siaran pers?

Publik menuntut jawaban bukan dalam bentuk retorika, melainkan tindakan nyata. Transparansi pengelolaan anggaran, sikap sederhana, kebijakan yang berpihak, serta penghentian gaya hidup mewah di tengah kemiskinan rakyat.

Bila DPR gagal membaca sinyal ini, bukan tak mungkin suara jalanan akan kembali terdengar lebih keras. Karena sejarah demokrasi Indonesia mencatat, ketika suara rakyat di ruang formal dibungkam, jalanan selalu punya cara untuk bicara.

Agustus mestinya menjadi bulan perayaan kemerdekaan. Tapi di depan gedung parlemen, kita justru disuguhi wajah getir demokrasi: kemerdekaan yang masih harus terus diperjuangkan—agar wakil rakyat benar-benar kembali pada rakyat, bukan pada dirinya sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *